Jakarta, jelajahsulsel.com — Sebuah riak kecil di permukaan demokrasi tiba-tiba berubah jadi gelombang yang bikin waswas. Kali ini, bukan soal politik atau pemilu, tapi regulasi. Lebih spesifik lagi, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025.
Judulnya sih, keren: tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian terhadap Orang Asing. Tapi isinya bikin alis terangkat dan jurnalis angkat bicara. Dewan Pers bahkan sampai angkat suara—keras dan jernih. Sebab di balik narasi perlindungan dan keamanan, tersembunyi ancaman nyata bagi kebebasan pers, terutama bagi jurnalis asing yang bekerja di Indonesia.
Regulasi ini, kalau dikuliti lebih dalam, mengandung anatomi pengawasan yang berpotensi membatasi kerja-kerja jurnalistik. Salah satu pasal yang bikin gaduh: syarat wajib Surat Keterangan Kepolisian alias SKK bagi jurnalis asing sebelum mereka bisa meliput.
Terdengar administratif? Mungkin. Tapi dalam konteks sistem sosial-politik, ini bisa dibaca sebagai bentuk kontrol struktural. Atau kalau mau pakai istilah sosiologi hukum: bentuk panoptik ala Foucault—pengawasan diam-diam yang membentuk kepatuhan lewat rasa diawasi.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, tak tinggal diam. Dalam pernyataannya yang keluar Jumat, 4 April 2025, ia menyayangkan langkah Polri yang terkesan sepihak. Tidak ada partisipasi. Tidak ada diskusi. Tidak ada ruang deliberatif yang melibatkan stakeholders utama dunia pers.
Padahal, dalam teori demokrasi deliberatif Habermas, partisipasi itu bukan sekadar formalitas—tapi esensi. Tanpa itu, kebijakan kehilangan legitimasi moral dan sosial.
Menurut Ninik, Perpol ini bukan cuma ngatur soal orang asing. Tapi masuk langsung ke jantung kerja jurnalistik. Dan ironisnya, pihak yang paling terdampak—wartawan dan institusi pers—tidak diajak bicara.
Ini bukan soal prosedur yang dilangkahi. Ini tentang sistem checks and balances yang dilangkahi. Bahkan bisa dibilang melanggar teori institusional dalam tata kelola pers.
Selain soal partisipasi yang absen, regulasi ini juga tumpang tindih dengan norma hukum yang lebih tinggi. Seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Penyiaran Tahun 2002. Dua undang-undang itu menjamin hak fundamental wartawan, termasuk hak untuk mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyebarkan informasi.
Enam tahap itu adalah dasar operasional dalam etika jurnalistik modern. Dan yang berwenang mengawasi tahapan itu? Bukan polisi. Tapi Dewan Pers. Lembaga independen yang dibentuk justru untuk mencegah represi semacam ini.
Ninik bahkan mewanti-wanti soal potensi penyalahgunaan. SKK yang diwajibkan bisa jadi komoditas baru dalam birokrasi. Semacam monetisasi administratif. Satu surat, seribu celah.
Karena dalam praktiknya, semakin panjang dan rumit jalur izin, semakin besar ruang bagi negosiasi informal—bahkan korupsi. Logikanya sederhana: semakin banyak pintu, semakin banyak penjaga.
Kepolisian mungkin menyebut Perpol ini sebagai bentuk perlindungan. Narasi ini bahkan mungkin dibungkus dalam bahasa humanistik: keamanan nasional, stabilitas sosial, ketertiban umum.
Tapi bagi komunitas pers, itu terdengar seperti eufemisme otoritarian. Sejenis represi dengan wajah yang lebih rapi. Yang dibungkus dalam kata-kata baik, tapi menyimpan logika kontrol.
Dalam sosiologi media, ini disebut sebagai soft censorship. Penyekapan yang tidak frontal, tapi sistematis.
Apa yang dilawan Dewan Pers bukan cuma satu peraturan. Tapi logika berpikir di balik peraturan itu. Sebab di dalamnya mengendap asumsi bahwa kerja jurnalis itu mesti diawasi, dibatasi, diatur.
Padahal dalam demokrasi, justru jurnalislah yang mengawasi kekuasaan. Watchdog, bukan watched-dog.
Jika regulasi ini diterapkan tanpa revisi, Indonesia bisa masuk dalam daftar negara dengan indeks kebebasan pers yang makin menurun. Dunia internasional, terutama lembaga-lembaga pemantau seperti Reporters Without Borders, bisa memandang ini sebagai kemunduran sistemik.
Demokrasi tanpa pers bebas itu seperti sirkuit tanpa listrik. Ada strukturnya, tapi tak ada dayanya.
Kini bola panas ada di tangan negara. Apakah akan tetap melaju dengan Perpol 3/2025? Atau memilih membuka ruang dialog dan mengembalikan regulasi pada semangat konstitusi?
Karena kalau negara mulai mengatur siapa yang boleh meliput dan siapa yang tidak, itu bukan demokrasi. Itu sensor.
Dan sensor, dalam jangka panjang, adalah awal dari sunyinya kebenaran. (*)